By: Berta Silvia |
Tak
kusadari sang matahari telah menyapaku dipagi hari seakan membangunkan lamunan
panjangku. Ibu membuka pintu kamarku dan terkejut melihat diriku terduduk
disamping tempat tidur, kemudian dia menghampiriku, memegang dahiku untuk
memastikan apakah aku sehat. Lalu dia bertanya masih dengan bahasa isyarat itu
apakah aku baik-baik saja? Aku hanya mengangguk. Ibu lalu meninggalkanku untuk
menyiapakan sarapan pagi kami. Aku meraih buku tua itu dan membuka lembar
kosong itu lagi, tertulis “temporis supererat XI horas”
aku berguman “ waktuku 11 jam lagi” sambil beranjak ke kamar mandi untuk
bersiap-siap berangkat sekolah.
Aku
menjalani pagi ini seperti biasa, sarapan dengan orang tuaku lalu berpamitan.
Aku berjalan menyisiri komplek rumahku, disana ku temui beberapa tetangga yang
menyapa dengan senyuman dan beberapa anak SD yang berlarian berangkat sekolah.
Aku mendengar beberapa perkataan orang-orang yang sedang membicarakanku. Tapi
seakan sudah kebal dengan itu, aku tidak memperdulikannya lagi. Aku hanya
berharap semua ini segera berakhir.
Sesampainya
di sekolah juga seperti biasa, teman-teman tersenyum padaku namun aku tak mampu
membalas senyum palsu mereka. Saat memasuki kelas, Ciro menyapaku dengan
senyuman khasnya yang selalu melelehkan hatiku. Kami pun bersama-sama
menuju kelas. Ciro duduk agak jauh dariku tapi aku masih dapat dengan jelas
memperhatikannya. Kami menuju tempat duduk masing-masing ketika tiba di kelas.
Aku dapat dengan jelas melihat beberapa anak laki-laki menghampiri Ciro, mereka
bercakap-cakap dengan riangnya sampai perkataan itu terlontar dari salah
seorang teman yang sedang berkumpul dengan ciro “Kamu menyukai Anne ya?
Perhatian sekali dengannya. Ayo ngaku.” Tiba-tiba detang jantungku berdegup
dengan kencang menantikan jawaban dari ciro. Tapi jawaban dari ciro tidak
ubahnya dari teman-teman yang lain malah semakin pahit karena terlontar dari
mulutnya yang ku anggap sebagai matahariku. “ah itu tidak benar, aku
memperhatikannya karena kita harus baik pada orang lain. Apalagi dengan dia
yang seperti itu, aku juga sedikit kasihan padanya. Kalian jangan mengoloknya,
hidupnya sudah terhina tuh. Haha.” Jawab ciro.
Sepanjang
pelajaran berlangsung aku tak dapat mendengarkan dan memikirkan apapun. Semua
berputar-putar di kepalaku. Hingga akhirnya pukul 10.00 a.m itu berarti waktu
istirahat pertama tiba. Aku memutuskan untuk pergi sambil membawa buku tua itu
ke atap sekolah, tempat yang paling jarang aku kunjungi. Tempat itu kupilih
karena kufikir itu adalah tempat yang cocok bagiku menumpahkan kesalku.
Setibanya disana aku memilih tempat yang paling jarang di kunjungi siswa lain
kemudian menjatuhkan diri di sudut dinding pagar pembatas di atap dan berteriak
sekencang-kencangnya, menangis, serta memaki-maki diri sendiri. Tanpa aku
sadari ternyata telah berdiri sesosok laki-laki yang aku kenal tidak jauh dari
tempatku duduk, dia adalah Juro. Dia memandangku dengan tatapan datar. Lalu aku
bertanya kenapa? Dia pun menjawab, “itu adalah tempat biasa aku tidur”,
kemudian dia duduk disebelahku yang masih tercengang dan melanjutkan
perkataannya “aku tidak tahu ternyata kamu sudah dapat mendengar dan
berbicara”, Aku masih tercengang lalu tersadar ketika tangannya menyentuh
dahiku seraya berkata “kamu baik-baik saja?”
<bersambung>
Tidak ada komentar:
Posting Komentar