Rabu, 14 November 2012

24 HOURS eps.2

By: Berta Silvia

Sinar matahari sore yang masuk dalam ruangan ini menyilaukan mataku, perlahan aku membuka mata. Kepalaku masih terasa agak pusing, namun kupaksakan untuk bangun dari tidur anehku ini. Kutengok jam tanganku menujukkan pukul 5 sore. Mataku berlari keseluruh penjuru ruangan tapi tidak kutemui seorang pun, kemudian pandanganku tertuju ke arah meja baca tempatku tertidur. Disana tergeletak buku tua yang masih terbuka bekas kubaca tadi. Saat ku lihat baik-baik, lembar yang aku tulis tadi kini telah kosong kembali. Ku coba untuk memejam-mejamkan mata untuk memastikan apa yang aku lihat. Sangat jelas di ingatanku bahwa aku tadi menulis sebuah kalimat di buku itu. Ku coba memperhatikan kembali lembar itu dan perlahan-lahan muncul sebuah tulisan “XXIV horis fuisse concessam (24 jam telah diberikan)”. Sejenak aku tertegun, apa kah ini benar?  Karena penasaran, aku memutuskan untuk membawa pulang buku itu.

Aku melangkah meninggalkan perpustakan, perlahan telingaku menangkap suara langkah kaki. Aku terdiam, air mataku menetes perlahan. “Aku dapat mendengar suara langkahku!” aku kembali terdiam sambil memengan mulutku. “Aku dapat berbicara!” air mataku makin deras mengalis dan kakiku terasa lemas, aku terduduk di koridor penghubung antara perpustakaan dan kelasku.

Setelah menghapus air mataku, kini aku melangkah mendekati kelasku. Sepertinya masih ada beberapa siswi disana karena aku dapat mendengar tawa mereka dari kejauhan. Aku tak sabar untuk memberi tahu mereka tentang keadaanku sekarang. Semakin mendekati pintu kelas, langkahku terhenti oleh ucapan salah seorang teman kelasku, “apa pun yang kita katakan tentang Anne, dia tidak akan pernah tahu asalkan kita tersenyum padanya. Itupun kita lakukan agar dapat contekan saat ujian darinya. Salah sendiri kenapa dia tuli dan bisu. Hahaha.” Semua yang ada di kelas tertawa seolah mendengarkan lelucon yang lucu sekali.

Aku mengurungkan niat untuk memberi tahu mereka. Langkahku begitu berat memasuki kelas untuk mengambil tas. Seperti biasa teman-teman tersenyum padaku, namun aku tak mampu membalas senyuman mereka. Aku hanya terus berjalan meninggalkan kelas dengan kenyataan yang merobek hatiku.

Masih dengan langkah gontai, aku memasuki rumahku. Ku usahakan untuk tersenyum agar dapat mengatakan keadaanku sekarang pada ayah dan ibu di ruang keluarga. Lagi-lagi langkahku terhenti saat mendengar ucapan orang tuaku, “seandainya saja anak kita normal. Pasti tidak akan merepotkan dan menjadi buah bibir tetangga”. Ucapan itu seolah menusuk langsung ke jantungku. Nafasku seolah terhenti. Kemudian ibu menoleh padaku dan tersenyum seraya mengatakan selamat datang dengan bahasa isyarat. Ayah juga tersenyum. Ajaib, tak setetes air matapun jatuh dari mataku. Entah karena otakku belum dapat memperoses apa yang kudengar tadi atau air mataku telah habis, aku tidak tahu. Ku urungkan kembali niatku tadi dan meninggalkan ruangan tempat ayah dan ibu.

Kini aku telah berada di ruangan yang paling nyaman bagiku. Aku meletakkan tasku di atas meja belajar kemudian menjatuhkan diriku ke tempat tidur. Hari ini aku sangat lelah, tubuhku membutuhkan sedikit istirahat. Otakku pun seperti tak dapat meng-input data lagi. Tanpa ku sadari, kantuk mulai menjalar ditubuhku dan aku mulai tertidur.

Jam dinding di kamarku menunjukkan pukul 01.15 a.m saat aku terjaga dari tidurku. Ku dapati tubuhku kini mengenakan baju tidur tidak lagi mengenakan seragam sekolah. Pasti ibu yang telah masuk diam-diam ke kamarku dan mengganti bajuku. Air mataku akhirnya kembali menetes. Maafkan aku, ibu pasti lelah mengurus aku yang seperti ini. Ayah pasti capek memenuhi kebutuhanku yang seperti ini. Maafkan aku.

Kuraih buku yang kupinjam tadi dari dalam tasku. Ku buka halaman demi halaman hingga halaman kosong itu dan kini tertulis ”temporis supererat XV horas XL minutes”, itu berarti waktuku tinggal 15 jam 20 menit lagi dari sekarang. Entah kenyataan apa lagi yang akan aku terima, sekarang aku tak dapat memikirkan apa-apa lagi. Tak kusangka dengan buku ini benar-benar dapat membuatku mendengar dan berbicara. Tapi bukan ini kenyataan yang aku inginkan. Kini perhatianku teralih ke album foto yang tersimpan rapi di laci meja belajar. Kuraih dan ku amati satu persatu foto yang tertempel disana. Semua tersenyum di foto itu tapi tak penah terfikir olehku bahwa senyum itu adalah senyum palsu. Kemudian aku terdiam dan pandanganku menerawang entah kemana seakan kantuk tak berani menghinggapi mataku.

<bersambung>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar