Minggu, 28 September 2014

Unsur dan Ciri Historiografi Tradisional dalam Babad Prambanan


Diceritakan kerajaan jayabaya berpindah dari daha ke pengging pada masa pemerintahan putranya yang bernama Prabu Kusumawicitra. Namun sepeninggalnya prabu kusumawicitra maka kerajaan pengging dipimpin oleh putranya Pancadriya. Kemudian Pancadriya mempunyai empat orang putra yaitu Dewamadya, Anglingdriya, Raden Dipanata, dan Raden Darmanata.
Sepeninggal Prabu Pancadriya, kekuasaan Pengging dipegang oleh  Prabu Anglingdriya yang dinobatkan sebagai raja pada tahun 764 (Dedi obah wicareku) dan untuk kelengkapan
kerajaan diangkatlah Tambakbaya sebagai patihnya.  Adik Anglingdriya, Raden Dipanata dinobatkan sebagai raja di negeri Salembi.
Pernikahan Anglingdriya dengan Dewi Sumemi menurunkan seorang anak Putri berwajah cantik yang bernama Dewi Larasati. Kecantikan putri ini sempat menarik perhatian lelaki sehingga banyak yang datang untuk melamarnya. Tetapi semua lamaran itu belum ada satupun yang diterima oleh sang putri. Lalu ia memohon kepada ayahnya agar diadakan sayembara, siapa saja yang dapat menebak sayembaranya akan diterima sebagai suami oleh sang putri. Sayembara itu terdiri dari tiga buah teki-teki (cangkriman) yaitu pertama, manakah ujung pangkal sebuah tongkat yang terbuat dari teras pohon asam ; kedua, manakah burung emprit jantan dan betina di antara dua ekor burung emprit yang tampaknya sama ; ketiga, sumur betimba batu dan timba emas yang bertali angin. 
Sayembara sang putri telah diundangkan ke seluruh negeri. Dua bulan kemudian banyak orang-orang yang berminat menebak sayembara sang putri namun tidak satupun yang  berhasil menebak. 
Dilain cerita seorang resi yang bernama Suwardi sangat sakti, kadang-kadang dapat berupah rupanya seperti apapun yang diaharapkannya. Resi Suwardi yang sangat menarik perhatian resi Sukantha akhirnya dinikahkan oleh anaknya yang bernama Endang Sukesthi. Kemudian melahirkan dua orang putera. Putra sulung bernama Puthut Kurung, perwujudannya sebagai seorang raksasa bertubuh tinggi besar. Putra kedua, seorang perempuan yang bernama Dyah Roro Jonggrang.
Selang beberapa tahun nenek Karung, Ajar Sukantha dan ayahnya sendiri, Resi Suwardi, meninggal dunia. Sepeninggal dua orang itu Jaka Karung pergi ke tanah seberang dan setelah setahun ia pulang kembali ke Gunung Simbaran disertai oleh bala tentara raksasa. Ia dapat bertemu kembali dengan ibu dan dua orang pamannya. 
Sejak saat itu Jaka Karung mengangkat dirinya sebagai raja  yang bergelar Mahaprabu Karungkala dan mendapat dukungan sepenuhnya dari sanak familinya.  Prabu Karungkala memerintah dengan amat sangat kejam, jikalau ada orang-orang yang menghalanginya maka orang itu harus dimusnahkan semua. Berita tentang kepemerintahan Prabu Karungkala juga sudah terdengar oleh raja Anglingdriya.  Kemudian bala Karungkala mengobrak-abrik kota beserta penduduk disekitar tempat itu hingga meninggalkan tempat tinggal mereka. Selanjutnya oleh para raksasa dijadikan sebuah kota yang bernama Prambanan. Dan Prabu Karungkala mengangkat dirinya sebagai raja di Prambanan pada tahun 990. 
Beberapa tahun kemudian setelah menjadi raja, Prabu Karungkala ingin memperistri putri Pengging. Prabu Karungkala berniat mengirim wadya bala karena ia bermaksud minta putri pengging secara baik-baik, namun jika raja Pengging tidak mengizinkan maka Prabu Karungkala akan mempergunakan kekerasan.  Maka utusan raja Prambanan dan pengiringnya telah tiba di Pengging. Prabu Anglingdriya bersikap sangat bijaksana dan menerima dengan baik maksud utusan Prambanan itu. Putrinya segera dipanggil untuk menyampaikan teka-teki yang disayembarakan dan yang akan menjawabnya adalah paman dari Prabu Karungkala yaitu Resi Basukeli.  Teka-teki tidak dapat semuanya terjawab benar. Kesatu dan kedua jawaban betul, sedangkan ketiga hanya betul sebagian.  Karena itulah tebakan teka-teki utusan Prambanan itu dinyatakan tidak memenuhi kehendak sang putri. Utusan Prambanan beserta para pengiringnya segera meninggalkan keraton Pengging tanpa minta izin kepada sang raja. Prabu Anglingdriya yang dapat merasakan kemarahan utusan Prambanan memerintahkan kepada Patih Tambakbaya untuk selalu bersiap diri menjaga Pengging dari serangan bala tentara Prambanan. 
Sekeluar dari keraton, Basukeli dan para pengiringnya beristirahat di pesanggrahan yang sekaligus dibangunnya untuk markas kekuatan. Lalu diserangnya orang-orang Pengging dan mereka yang menyerah diharuskan menyerahkan upeti. Mereka berusaha keras untuk saling mematahkan pertahanan lawan. Berbagai teknik  perang mereka pakai untuk mendapatkan kemenangan . basukeli dan prajurit prambanan menggunakan teknik pritneba yaitu Barisan manusia berdiri pada bagian paling muka, sedangkan prajurit raksasa bergerak di belakangnya.
Ditengah kemenangan prajurit dari Prambanan  dapat diibaratkan seperti halnya api yang sedang berkobar sulit untuk dipadamkan. Karenanya ada seorang guru yang bernama Ki Ajar Rencasa memberikan saran kepada Prabu Anglingdriya agar membuat sayembara baru, yaitu siapa yang dapat mengalahkan Prajurti Prambanan beserta rajanya, Prabu Anglingdriya, mereka itu akan mendapat ganjaran putrid Pengging. 
Lalu datang Prabu Darmamaya dari negeri Sudimara, ia adalah anak dari adik Prabu Anglingdriya yang bernama Prabu Darmanata.  Raden darmamaya adalah seorang yang sangat sakti, dalam perjalanan menuju Pengging dia berhasil mengalahkan pasukan Praambanan. Maka dinikahkanlah Raden Darmamaya dengan Dewi Larasati. 
Kabar pernikahan Raden Daarmamaya dengan Dewi Larasati telah sampai ke Prambanan. Prabu Karungkala marah sekali da akhirnya pertempuran antara prajurit Prambanan dan Pengging menjadi seru kembali. Raden Darmamaya tewas di medan perang melawan Prajurit Prambanan. 
Kesedihan betambah ketika di negeri Salimbi terjadi malapetaka karena meninggalnya Prabu Dipanata. Putera Prabu Dipanata, Raden Baka juga melarikan diri karena telah mencintai dan menggauli Ibunya Dewi Nataswati hingga bunuh diri.
Beritakematian Prabu Darmanata dari Sudimara sudah sampai ke Pengging. Raden Dramamaya yang merupakan anak dari Prabu Darmanata kemudian berpindah ke Kerajaan salah satu pamannya di Pengging. Semua panggawa Sudimara dipanggil untuk mengabdi pada Raden Darmamaya sebagai pewaris Negara Sudimara.
Tak lama setelah itu, Raden Darmamaya memperistri Dewi Larasati dari Pengging. Selang beberapa waktu kemudian Dewi Larasati melahirkan seorang putra lelaki yang sangat tampan  bernama Raden Bandung. Setelah putranya berumur 40hari, Raden Darmamaya meminta ijin untuk memerangi orang Prambanan.
Prajurit Prambanan gentar melihat banyaknya pasukan Pengging yang datang menyerang. Prabu Karungkala di Prambanan geram melihat hal ini, sehingga dia menyuruh Tumenggung Suliki untuk menjaga Dewi Rara Jonggrang ketika Prabu Karungkala ikut berperang. Hal ini dapat meningkatkan semangat para prajurit Prambanan.
Pada saat itu Prabu Karungkala ikut turun langsung dalam pertempuran dan berhadapan dengan Raden Darmamaya. Sayangnya, kekuatan Raden Darmamaya lebih kuat dibandingkan Prabu Karungkala sehingga sang Prabu tewas di medan pertempuran.
Berita kematian sang kakak telah sampai ke telinga Rara Jonggrang. Maka ia meminta Resi Basukeli untuk mencari seratus orang prajurit untuk membalas kematian kakaknya. Ia juga membuat sayembara, barang siapa dapat mengalahkan pasukan Pengging maka sang Dewi akan menjadikannya suami.
Di saat itu pula, Raden Baka dari Salembi tengah melakukan semedi di Gunung Kelir untuk mendapatkan seorang istri cantik yang mirip dengan ibunya. Resi Basukeli pun menggunakan kesempatan  ini untuk membujuk Raden Baka untuk mengikuti sayembara Dewi Rara Jonggrang. Ia juga menceritakan betapa cantik dan anggunnya Rara Jonggrang.
Alhasil, Raden Baka menyetujui permintaan Resi Basukeli dan berangkat menuju Prambanan. Sesaat tiba di Prambanan, Raden Baka mengetahui bahwa ternyata Raden Darmamaya dari Pengging itu ternyata masih saudara nya sendiri. Dia kemudian mengutus seorang prajurit untuk menyampaikan salam nya kepada Raden Dramamaya dan meminta nya untuk menyelesaikan masalah dengan damai. Namun Raden Darmamaya tidak mau menyetujui usul saudaranya itu karena dia tetap ingin mengalahkan Prambanan agar menjadi daerah taklukannya. Hal ini membuat Raden Baka semakin marah, perang pun semakin brutal. Banyak korban tewas dikedua pihak
Disamping itu, Raden Baka sudah sangat rindu kepada Rara Jonggrang. Maka iapun kembali ke Prambanan untuk mengutarakan niatnya ini. Rara Jonggrang dengan tegas menolak, sang dewi tidak akan menerima cinta Raden Baka sebelum Pengging berhasil dikalahkan.
Pada tahun 997 (sora cipta wiwara sabda), utusan dari medan perang tiba di Prambanan. Mereka melaporkan bahwa perang makin menjadi jadi dan tidak ada pihak yang mau mengalah. Namun Prabu Baka hanya member nasihat, bahwa prajurit Prambanan hanya boleh menyerang apabila prajurit Pengging telah menyerang terlebih dahulu.
Rindu asmara Prabu Baka semakin menjadi jadi. Pada malam itu ia memaksa untuk mendobrak pintu kamar Rara Jonggrang.sang Dewi pun terkejut atas keberanian Prabu Baka ini. kesempatan ini tak disia-siakan oleh Prabu Baka, ia pun segera menggauli Rara Jonggrang. Bagaimanapun kuatnya Rara Jonggrang untuk mempertahankan diri, tetaplah ia hanya perempuan biasa.
Ketika fajar mulai menyingsing, Raden Bandung telah tiba di medan pertempuran dan sudah berhadap-hadapan langsung dengan bala tentara Prambanan. Prajurit Prambanan mengira yang baru databg itu adalah prajurit Pengging yang berpangkalan di Malinjon. Perang mulai pecah, Dyan Bandung menunjukkan kesaktiannya. Meskipun badannya ditombak dan dikerubut orang banyak tapi ia tetap tegar sambil terus menyerang lawan.
Raden Bandung sedang dikeroyok oleh Tumenggung Bandawasa, Tumenggung Pamengkok, dan Tumenggung Suliki. Meskipun diserang dari kanan kiri ternyata Raden Bandung tidak pernah dapat terluka sedkitpun. Pada kesempatan yang tepat senjata Bandawasa dapat ditarik oleh Raden Bnadung dan Bandawasa sendiri jatuh ke tanah. Tumenggung segera ditendang kepalanya sehingga pecah bercampur tanah. Setelah Tumenggung Bandawasa berhasil ditewaskan maka Raden Bandung beralih nama menjadi Raden Bandung Bandawasa.
Ketika hari mulai senja Raden Bandung Bandawasa tidak tahan lagi menahan kobaran asmaranya. Ia memutuskan akan memaksa Rara Jonggrang untuk mau menerima kehendaknya. Karena merasa terdesak, Rara Jonggrang mengatakan kalau memang Raden Bandung Bandawasa benar-benar cinta kepadanya maka Rara Jonggrang ingin minta sesuatu. Sesuai dengan harapan almarhum ayahnya, Resi Suwarda, maka Rara Jonggrang hanya minta candhi batu seribu yang harus dapat selesai dalam satu malam. Apabila yang diminta Rara Jonggrang dapat terkabul maka, ia bersedia untuk diperistri oleh Raden Bandung Bandawasa. Keputusan Raden Bandung Bandawasa menyanggupi permintaan Rara Jonggrang tadi. Raden Bandung Bandawasa memohon kepada dewata semoga dirinya dapat mewujudkan permintaan Rara Jonggrang tadi. 
Rara Jonggrang berpura-pura akan menghitung jumlah arca candi. Ketika orang-orang lain tengah lengah diri maka Rara Jonggrang lari meninggalkan tempat itu lari masuk kealam hutan. Raden Bandung Bandawasa berusaha melacak ke desa-desa dank e hutan-hutan namun tidak dapat menemukan sang Putri. Raden Bandung Bandawasa pun juga tak kunjung pulang. Raden Darmamaya memerintahkan orang-orang Pengging utuk mencarinya, namun usaha pencarian yang sudah dilakukan selama kira-kira setengah bulan lamanya juga tidak membuahkan hasil.
Usaha pencarian terhadap Raden Bandung Bandawasa tetap terus dilakukan meskipun belum dapat menemukannya. Usaha Raden Bandung Bandawasa melacak Rara Jonggrang tidak berhasil menemukannya, demikian pula usaha pelacakan prajurit Pengging dan Prambanan terhadap Raden Bandung juga belum berhasil menemukannya. Raden Bandung membuat arca yang menggambarkan Rara Jonggrang, bertangan empat dan bertumpu pada lembu Andini. Raden Bandung mohon kepada dewata agar di muka arca Rara Jonggrang dapat timbul sebuah sumur gumuling.
Di pinggir kali Opak Rara Jonggrang melahirkan seorang anak perempuan lalu setelah itu meninggal dunia. Randha Ruwek yang sedang mencari air dan memetik sayur-sayuran mendengar suara bayi di atas batu. Bayi itu segera diambil, ternyata bayi perempuan dan diberi nama Rara Temon.
Pada suatu hari Dewi Jaeni sedang menyayur terong. Karena tergesa-gesa waktu mengupas terong tangan Dewi Jaeni teriris sehingga darahnya tercecer jatuh ke dalam sayur dan bagian daging tangan yang teriris ikut pula jatuh ke dalam sayur tadi. Raden Dewatacengkar merasakan masakan istrinya itu enak sekali. Raden Dewatacengkar mendesak istrinya agar menceritakan bagaimana cara dan kelengkapan masak hari itu. 
Raden Dewatacengkar merasakan enaknya makan daging manusia seperti yang tercampur pada sayur yang dibuat oleh istrinya. Selanjutnya ia minta kepada istrinya agar selalu memasak daging manusia sekali setiap bulan. 
Ayah mertua Dewatacengkar, Resi Pancadriya merasa sedih mendengar kabar bahwa putranya mempunyai kegemaran makan daging manusia. Dia meminta anaknya agar menghentikan kesenangannya makan daging manusia.
Jaka Burdan putra Resi Baeksi yang sedang melacak Rara Jonggrang sudah sampai ke Sokan. Ia sangat tertarik melihat seorang gadis mengambil air di kali Opak. Wajahnya cantik seperti Rara Jonggrang. Jaka Burdan berusaha mengejarnya namun saat berusaha menyebrang kali Opak terjadi banjir dan dia terseret sampai ke tepi sungai. Meskipun sangat berat dan penuh penderitaan akhirnya Jaka Burdan dapat pula tiba di sebrang kali Opak. 
Jaka Burdan melanjutkan perjalanannya sampai ke gunung ijo. Disana dia bertepu dengan seorang pertapa. Jaka Burdan menganggapnya sakti dan pasti tau yang sudah terjadi. Namun ketia dia bertanya kepada pertapa itu, dia hanya diam membisu dan tidak menjawab satupun pertanyaannya dan Jaka Burdan merasa marah sekali sampai memukul kepala sang pertapa sampai berkali-kali menggunakan batu. Lama kelamaan kepala sang pertapa pecah akibat dipukul Jaka Bardan. Padahal sebenarnya pertapa tersebut adalah RadenBandung Bandawasa yang sedang melacak keberadaan Rara Jonggrang. Raden Bandung Bandawasa tewas sambil meninggalkan suara kutukan untuk Jaka Burdan. Sumpah tersebut bertuah pula sampai pada akhirnya Jaka Burdan berubah menjadi anjing. Jaka Burdan sedih dan menyesal sekali. 
Pada waktu sedang menenun tiba-tiba alat tenun Rara Temon jatuh ke tanah dibawah gubug. Jaka Burdan yang meilhatnya yakin bahwa itu adala wanita yang sedang dicarinya. Tropong segera digigitnya dan dibawa naik ke gubug. Pada pertemuan itu anjing mengatakan bahwa dia sebenarnya adalah Jaka Burdan. Tidak berapa lama kemudian Randha Ruwek menyuruh Rara Temon untuk turun dan diikuti anjing itu. Namun mengetahui hal itu Randha Ruwek langsung memukuli anjing itu hingga anjing itu hilang kesabarannya. Randha Ruwek digigitnya hingga meninggal dunia.
Rara Temon dan Jaka Burdan terus memadu asmara hingga Rara Temon hamil dan kemudian sampai waktu melahirkan tiba. Anak tersebut diberi nama Jaka Anakan.
Dewatacengkar makin berusaha keras melebarkan dan memperkokoh kedudukannya sebagai raja di Sigaluh. Pelebaran kekuasan itu tertuju pula ke Pengging yang sedang diperintah oleh Prabu Darmamaya. Perintah penyerangan Pengging telah dikeluarkan oleh Prabu Dewatacengkar dan para prajuritnya berangkat menuju Pengging.
Kerajaan Pengginh sangat aman dan makmur selama diperintah oleh Prabu Darmamaya.  Patih Pangging, Tambakbaya, mendahului menghadap ke hadapan Tuhan. Kemudian digantikan oleh Jaka Genteng yang selanjutnya bergelar Patih Kakeran yang sangat perwira dan sakti. 
Patih Genteng menghadap Prabu Darmamaya untuk memberitahukan bahwa di Sela sudah kedatangan musuh dari Sigaluh yang bernama Dewatacengkar. Mereka sangat ganas, penduduk yang telah memberikan makanan tetap dirampok harta bendanya. Binatang piaraan seperti lembu dan kerbau tidak ketinggalan menjadi incaran bala tentara dari Sigaluh tadi.
Prabu Dewatacengkar turun ke medan pertempuran menghadapi prajurit Pengging. Ia mengamuk seperti banteng terluka sehingga menimbulkan banyak sekali korban. Patih Gentang mencoba membendung Prabu Dewatacengkar, namun ternyata Patih Gentang tidak mampu menahan hingga tewas tertombak dan dipukul kepalanya oleh Prabu Dewatacengkar.
Kematian Patih Gentang menyebabkan Prabu Darmamanya harus turun ke medan perang menhadapi Prabu Dewatacengkar. Perang berlangsung dan saling menunjukkan kesaktiannya yang saling tidak mudah dilumpuhkan. Namun pada akhirnya Prabu Darmamanya tewas. Sedangkat Prajurit Pengging melarikan diri untuk menyelamatkan diri masuk ke kota Pengging.
Panembayan Anglingdriya bersedih hati mendengar berita kematian putra menantunya. Lalu diutusnya para prajurit Sigaluh untuk mengepung kota Pengging. Sedangkan kedua putera Prabu Darmamanya lari meninggalkan istana menuju hutan.
Akhirnya Prajurit Pengging dibawah pimpinan Jaka Tengger menyerah kalah kepada Prabu Dewatacengkar. Prabu Dewatacengkar telah masuk istana Pengging dan mengumumkan kepada warga bahwa dirinyalah yang akan mengganti Prabu Darmamaya sebagai Raja Pengging. Orang-orang Pengging mendukung keputusan Prabu Dewatacengkar tersebut. Sedangkan Jaka Tengger diangkat sebagai Patih Pengging yang baru yang diberi perintah untuk membuat kota di Kuwu.
Kota yang dibangun di sebelah Tenggara Bintara oleh Prajurit yang diperintah oleh Prabu Dewatacengkar pada tahun 1099. Setelah kota itu elsai dibangun dan diberi nama Medhangkamulyan tahun 1022. Resi Isake menjadi Raja di Banisrail bergelar Sri Sultan Sumaji. Ia dikenal seagai raja yang taan beragama, dan dipercaya masih keturunan Dewa. Karena itulah Sri Sultan Kusumaji selalu awet muda dan terlepas dari kematian.
Ajisaka pergi dari Medinah pulang ke Banisrail lalu ke Negara Nrajan dan akhirnya sampai di Keling. Ia mengunjungi orang tuanya lalu membawa tiga orang adiknya untuk pergi ke lain pulau. Ajisaka mendaratlah di Jungke, Pantai Barat pulau Jawa. Dari situlah ia menuju ke arah Timur dengan menyusuri kendheng.
Randha Gentang akhirnya dijadikan istri patih tengger yang berdiam di desa Sangkeh. Anak perempuan randha Gentang yang bernama Rarasati ikut pula bersamanya. Rarasati meskipun bukan putra Raja tetapi ia berwajah cantik dan anggun.
Pada suatu hari randha Gentang kedatangan seorang tamu yang belum dikenalnya yaitu Ajisaka bersama tiga saudaranya. Maksud kedatangannya adalah untuk mengabdi kepada Prabu Dewatacengkar. Lalu, terjadilah hal-hal aneh yang dirasakan oleh randha Gentang yaitu pada saat menggali laos, ternyata dibawahnya terdapat permata yang banyak sekali. Rendha Gentang mengira bahwa dengan adanya tamu tersebutlah yang membuat keberuntungan itu terjadi. Selain itu keanehan yang lain juga muncul seperti hama tanaman tidak lagi menyerang tanaman di Sengkeh.
Ajisaka harus menunggu dengan sabar jika ia ingin bertemu dengan Prabu Dewatacengkar karena ia sedang melakukan Semedi. Setelah seratus hari setelah bersemedi, diadakan pertemuan yang dihadiri oleh Punggawa Madhangkamulyan. Patih Tengger dipanggil oleh raja untuk menghadap ntuk membicarakan sesuatu yang anggap penting.
Prabu Dewatacengkar memberi tahu Patih Tengger baha ia telah menerima petunjuk dewata untuk terus makan daging manusia dua kali setiap bulan yang diserahkan di awal dan di akhir bulan. Ang dijadikan korban adalah orang-orang yang telah berbuat kejahatan(mencuri). Raja juga meminta hati manusia yang dibakar, dengan syarat berwajah tampan melebihi putera sang Raja. Jika permintaan Raja terpenuhi maka Negara Mendhangkamulyan akan aman dan tentram. Patih Tengger telah memerintahkan para Punggawa untuk segara mencari permintaan sang Raja yang dibatasi waktu selama lima hari.
Ajisaka yang memiliki wajah tampan membuat Patih Tengger ingin membawanya ke sang Raja. Namun Randha Gentang menjelaskan mengenai Ajisaka yang ingin mengabdi kepada Prabu Dewatacengkar selain itu ia telah membawa tuah kebahagiaan bagi desa yang telah ditinggali oleh Rendha Gentang. Setelah mendengar penjelasan tersebut Patih Tengger sangat tertarik untuk menemui oleh sang Raja. Selain itu Ajisaka juga bersedia untuk dijadikan tumbal santapan Prabu Dewatacengkar asalkan ia diberikan tanah seluas ikat kepalanya untuk ketiga adiknya.
Patih Tengger telah menyampaikan mengenai Ajisaka kepada Prabu Dewatacengkar yang terus mencari lelaki berwajah tampan. Ajisaka yang telah berusia 1050 tahun tetapi wajahnya masih terlihat muda karena dahulu ia pernah mandi air kehidupan. Wajahnya selalu bersinar seakan mampun menembus kegelapan malam. Permintaan Ajisaka diluluskan oleh Prabu Dewatacengkar.
Mengenai tanah yang diminta oleh Ajisaka yang telah disetujui oleh Prabu Dewatacengkar seluas ikat kepala telah diukur dengan ditariknya ikat kepala secara pelan-pelan. Namun siang-malam ikat kepala Ajisaka terus ditarik dan belum menemukan batas akhir. Pengulurannya sampai ke Barat lautnya gunung Merbabu terus ke Selatan tiba disebelah Barat gunung Merapi, kemudian ke arah Timur sampai ke Gajahmungkur dan ke Utara sampai kesebelah Timur gunung Lawu.
Prabu Dewatacengkar terkejut dan marah mendengar laporan bahwa ikat kepala Ajisaka ternyata tidak terbatas panjangnya. Pada akhirnya Raja hanya akan memberi tanah Sokawati dan sebelah Timur Bengawan Sala untuk tiga orang adiknya. Ajisaka merasa tidak puas atas keputusannya. Prabu Dewatacengkar dianggap telah mengingkari janjinya, lalu ajisaka tidak mau menerima keputusan Raja tersebut.
Terjadilah perdebatan ramai antara Dewatacengkar dan Ajisaka yang berakhir dengan perkelahian. Punggawa Medhangkamulan berusaha untuk menangkap Ajisaka namun tidak pernah berhasil dan banyak terjadi pertumpahan darah pada Punggawa tersebut karena amuka Ajisaka beserta Bratandang, Braraja, dan Brarunting. Empu Bratandang mengeluarkan bisa yang menyebabkan Prajurit Mendhangkumulan tewa pada saat menyerang. Sedangkan Prabu Dewatacengkar berubah menjadi buaya putih pada saat Ajisaka menantangnya.
Buaya putih yang semakin terdsak melarikan diri ke arah Selatan. Sedangkan Prajurit Medhangkamulan yang dipimpin oleh Patih Tengger menyerah kepada Ajisaka. Lalu Ajisaka menggantikan Dewatacengkar menjadi Raja di Medhangkamulan yag bergelar Prabu Widayaka juga Prabu Ajisaka.
Dewantacengkar yang berubah menjadi buaya putih lari menyusuri sungai ke arah selatan. Dan ia membangun kekuatan dengan pengikut para buaya dan kura-kura. Sedangkan isteri Dewatacengkar bersama putranya Daniswara, dibawa oleh pamannya lari meninggalkan Medhangkumulan masuk hutan ke arah Barat Daya dengan tujuan ke Gunung Ngula-ngula.
Prabu Ajisaka telah resmi menjadi Raja dan warga di Mendhangkamulan telah mendukung Ajisaka di negeri itu. Seluruh Punggawa diberi kedudukan seperti pada zamannya yang diperintah oleh Dewatacengkar. Raja Ajisaka dikenal adil dan penuh kasih sayang kepada semua warganya. Dan negara Medhangkamulan makin aman dan tentram serta makmur.
Pada suatu ketika saat Prabu mendatangi rumah Randha Gentang di desa Sangkeh ia melihat Rarasati yang sedang menumbuk padi yang terlihat kakinya. Sebagai manusia Prabu Ajisaka tertarik nafsunya sampai ia tidak sadarkan diri telah mengeluarkan air mani yang kemudian dipatuk oleh seekor ayam betina putih. Demikian pula Rarasati yang juga mengelurkan tetesan air mani saat melihat kebagusan yang dimiliki Prabu Ajisaka. Kemudian dipatuk oleh ayam betina putih yang sama.
Lahirnya dua anak dari ayam betina putih tersebut dari sebutir telur yang dikeraminya. Bayi perempuan berwajah cantik ini diberinama Dewi Darmasuti dan seekor naga yang juga menetas dari sebutir telur tersebut diberi nama Nagadarma. Kedua nama tersebut diberikan oleh Hyang jagadnata.
Randha Gentang sangat terkejut saat melihat seekor naga yang berada di dalam lumbung. Randha Gentang lari ketakutan hingga warga desa Sangkeh menjadi panik. Lalu saat tiba ke tempat Patih Tengger yang kemudian disusul oleh Nagadarma yang menjelaskan bahwa ia merupakan anak dari Prabu Ajisaka dan Rarasati yang diceritakan dari Awal sampai akhir kejadian.
Patih Tengger yang dipanggil oleh Prabu Ajisaka untuk menghadap ke istana. Sesampai disana patih tengger menjelaskan mengenai Naga tersebut dan membawa Nagadarma ke Istana untuk ditanyakan keterangannya asal dirinya yang dibantu oleh Hyang Narada yang menyatakan keterangan tentang dirinya dan kakaknya yang sudah dua bulan lamanya dipelihara.
Prabu Ajisaka bingung mendengar keterangan dari Nagadarma yang mengatakan bahwa ia memiliki saudara perempuan bernama Dewi Darmasuti. Di mahkota yang dikenakan oleh Nagadarma berisikan tulisan yang dibacakan oleh Empu Bratandang yang berisikan perjalan hidup yang pernah dialami oleh Ajisaka, mulai dari pertemuannya dengan Rarasati sampai telah munculnya kedua anak tersebut dari hubungan mereka.
Prabu Ajisaka dan para kerabat keraton merasa senang hati karena sang prabu memiliki keturunan yang kelak dapat meneruskan kelanjutan hidupnya di negara Madhangkawit. Patih tengger segera diutusnya untuk menjemput Dewi Darmastuti ke desa Sangkeh. Sampai istana sang Dewi ditempatkan di dalam puri sedangkan Nagadarma ditempatkan terpisah dari kakaknya, Dewi Darmastuti.
Di alun-alun terdapat dua orangyang sedang pepe di alun-alunyang ingin menghadap Prabu Ajisaka. Dua orang tersebut merupakan putra Prabu Anglingdriya dari Pengging yang pergi meninggalkan istana ketika pengging di taklukkan oleh Dewatacengkar. Mereka pada saat itu tidak mau tunduk dan memilih lari ke hutan. Mereka ingin mengabdi kepada Prabu Ajisaka sebagai pemelihara kuda.
Prabu Ajisaka memberitahu kepada anaknya, Nagadarma, bahwa ia masih memiliki musuh yang berwujud buaya putih di pantai Selatan yang penjelmaan dari Dewatacengkar. Lalu Nagadarma diutus untuk membinasakan buaya putih tersebut. Lalu tugas tersebutpun disanggupinya.
Pada saat Nagadarma berangkat ke laut Selatan untuk memerangi buaya putih tersebut, secara diam-diam, orang-orang Madhangkamulan memutuskan akan membinasakan Nagadarma. Mereka berencana membuat barisan secara berlapis-lapis pada saat para prajurit diperintahkan untuk berjaga di keliling kota. Nagadarma harus dibunuh, lalu mayatnya dibuang ke sungai. Kematian Nagadarma nanti akan dilaporkan kepada Prabu Ajisaka bahwa naga tersebut mati pada saat perang melawan Dewatacengkar. Hal ini dilakukan agar Prabu Ajisaka tidak akan marah lalu yang menggantikannya ialah manusia bukan buaya yaitu Dewi Darmasuti.
Pada saat nagadarma sampai di laut Selatan untuk bertemu Dewatacengkar, hal ini membuat terkejut Dewatacengkar dan para Punggawanya yang terdiri dari buaya-buaya tersebut.
Naga Nginglung yang merupakan anak dari Prabu Ajisaka diperintahkan untuk membunuh siluman buaya putih yaitu Dewatacenkar. Setelah berhasil membunuh Dewatacengkar, naga Nginglung kemudian dinikahkan dengan putri dari Nginangi raja lelembut laut Selatan yang berbadan manusia tapi bersisik bernama lara Blorong. Dan mereka dikisahkan saling mengasihi.
Pada suatu hari Nginglung meminta izin kepada ayah mertuanya untuk kembali ke Medhangkumulan melaporkan bahwa tugasnya telah berhasil dilaksanakan dengan baik. Prabu Nginangiu mensetujuinya tetapi berpesan agar perjalanan nginglung lewat dalam tanah karena sedang terancam oleh orang-orang Medhangkawit yang ingin membunuhnya.bahwa naga Ngingklung yang hendak menuju ke Medhangkumulan melalui dalam tanah sesekali muncul ke permukaan kemudian tempat munculnya berubah menjadi telaga bernama Pawiniyan, telaga Jimbung, dan sumber mata air sungai Serayu.
Sesampainya di Mendhangkumulan Naga Nginglung disambut baik oleh Prabu Ajisaka. Naga ngingklung dilayani dengan baik, tetapi suatu ketika saat kelaparan naga nginglung memakan dua penjaga. Prabu Ajisaka yang mendengan kabar itu kemudian marah dan memerintahkan Naga Nginglung untuk bertapa di hutan dan tidak boleh makan apapun kecuali makanan yang tidak sengaja masuk ke mulutnya.
Setelah dua tahun memerintah, Prabu ajisaka teringat kepada dua orang abdinya, Dora dan Sembada yang masing tertinggal di pulau Majethi. Maka Ajisaka memerintahkan abdinya Deduga dan Prayoga untuk memanggil abdinya tersebut. Namun sayangnya Deduga dan Prayoga tidak dibekali surat perintah dari Ajisaka. Dora yang mendengar perintah rajanya tersebut mengajak Sembada untuk pergi menghadap ke Medhangkumulan. Tetapi Sembada yang taat kepada perintah rajanya tidak mau meninggalkan pulau Majethi karena tidak adanya surat perintah dari raja. Mereka akhirnya terlibat pertengkaran dan sama-sama mati. Kemudian terciptalah tulisan (huruf) jawa berjumlah dua puluh buah dengan alat kelengkapan huruf berupa sadhangam seperti suku, taling, dan sebagainya, serta perhitungan waktu (wuku) yang berjumlah tiga puluh buah oleh Prabu Ajisaka karena kesedihannya kehilangan dua orang abdinya yaitu Dora dan Sembada pada tahun 1026 (rasane netraneki angambara).
Naga Nginglung yang masih meneruskan pertapaannya di gua lereng gunung selama tiga tahun tanpa makan dan minum. Mulutnya tetap menganga seperti goa. Kemudian ada sembilan orang anak pengembala yang sedang kehujanan disekitar tempat naga Nginglung bertapa lalu berteduh di dalam mulut Nginglung dan dengan sekejap mulut goa itu tertutup menelan anak-anak pengembala. Seorang anak pengembala yang berhasil lolos kemudian melaporkan tingkah laku naga Nginglung tersebut. Prabu ajisaka yang marah mendengan berita tersebut kemudian membunuh naga nginglung dengan cara mulutnya dipaku dan badannya ditenggelamkan kebumi. Tempat tenggelamnya Nginglung itu kemudian berubah menjadi rawa lumpur Kasanga.
Medhangkumulan yang saat itu dibawah pemerintahan Prabu Ajisaka kemudian digantikan oleh putra menantunya Sang Prabu Suwelacana. Tidak lama setelah itu Medhangkumulan diserang dan dijatuhkan oleh Prabu Srimapunggung dari gunung Ngulaulu, Prabu Suwelacana pun tewas ditangan Prabu Srimapunggu yang kemudian memerintah Medhangkumulan.
keluarga Temon dengan putranya bernama Jaka Truka. Mereka memiliki seekor anjing bernama Jaka Burdan yang sering menemani Jaka Truka berburu. Ibu Jaka Truka bernama Rara Temon mengatakan bahwa anjing itu adalah anjing pemberian ewa yang mempunyai tuah dan sakti. Pada suatu hari Jaka Truka sedang berburu, tetapi tidak menemukan satupun hewan buruannya. Karena kesal, ia lalu pulang ke rumah namun di perjalanan ia bertemu dengan dua ekor kijang. Anjing Burdan yang diperintahkan untuk mengejar kijang itu ternyata tidak mau mengejarnya. Karena kesal, maka Jaka Truka memukul kepala anjing itu dengan batu hingga tewas. Rara Temon yang mendengan cerita itu dari anaknya menjadi sangat sedih dan bunuh diri dengan cara melompat ke dalam kobaran api. Jaka Truka sangat sedih melihatnya kemudian lari kedalam hutan dan bertemu dengan pasukan Raden Kandhuyu yang sedang menuju Cirebon. Kemudian Jaka Truka mengabdi pada Raden Kandhuyu dan diangkat menjadi patihnya sesampainya mereka di Cerebon.
Keluarga kerajaan yang selamat yaitu Raden Kandhuyu bersama pasukannya melarikan diri ke Cirebon dan dipersaudara oleh Raja Cirebon yang kemudian diangkat menjadi raja dengan gelar Prabu Srimahakurung. Setelah itu, Kadhuyu kemudian menyiapkan pasukan untuk menyerang Medhangkumulan yang kemudian berhasil merebut dan membunuh Prabu Srimapunggung. Maka, Medhangkumulan berhasil ditaklukan lagi yang kemudian diperintah oleh Srimahakurung yang bergelar Prabu Srimahapunggung. Medhangkumulan diganti namanya menjadi Purwacarita.
Prabu Srimahapunggung sebagai raja Medhangkumulan yang diubah menjadi Purwacarita. Diceritakan bahwa Prabu Srimahapunggung berhati besar mengampuni orang yang berbuat jahat dan berusaha memperbaiki tingkah laku warganya. Padahal dikatakan juga bahwa negeri itu dilanda banyak perampokan. Kemudian Prabu Srimahapunggu meminta tolong kepada Nagageni yaitu utusan dari Keling untuk mencarikan daya upaya kebatinan agar kejahatan yang melanda negara Purwacarita dapat berhenti. Setelah setahun lamanya akhirnya Nagageni berhasil dan tahun 1075 prabu Srimahapunggung menghadiahkan tanah Jepara kepadanya.
Negara Purwacarita mengalami pasang surut dalam perjalanannya.Hancurnya negara Purwacarita sendiri disebabkan karena berubahnya Retna Pembayun, putra dari Prabu Jayalengkara, menjadi seekor naga yang sangat besar.Naga Pembayun ini merusak seluruh isi istana dan juga melawan seluruh prajurit Purwacarita yang hendak melawannya.Berubahnya Retna Pembayun menjadi naga ini akibat dari sumpah serapah ibunya akibat ulah Pembayun yang telah memukul kepala ibunya.Disamping naga Nginglung yang pernah dibunuh oleh Ajisaka kemudian menjelma ke Retna Pembayun.
Pasca hancurnya Purwacarita, saudara dari Retna Pembayun yaitu Raden Subrata membantu Prabu Kajangkara, raja di Majapura, untuk mengalahkan Jenggala.Setelah Jenggala dapat dikalahkan, Raden Subrata dihadiahi tanah di Jenggala dan juga Dewi Srini, putri dari raja Jenggala.Sementara itu, Prabu Kajangkara menyerahkan kekuasaannya kepada putranya Prabu Tejangkara untuk memimpin Majapura.
Setelah Raden Subrata meninggal dunia, kedudukannya digantikan oleh putranya Adipati Jayengrana. Pada saat itu di Majapura sedang ramai dibicarakan jatuhnya tunggulwulung, yang dipercayai oleh rakyat bahwa Majapura akan mendapatkan hadiah dari dewata. Namun ternyata justru Majapura dilanda penyakit menular. Oleh karena itu tunggulwulung harus dibuang, akan tetapi tidak ada yang dapat membuang tunggulwulung tersebut. Adalah Jayengrana yang akhirnya berhasil mencabut tunggulwulung tersebut dan membuangnya ke laut.Oleh karena jasanya ini, Jayengrana dinikahkan dengan putri dari Prabu Tejangkara, Dewi Tejaswara.Setelah Prabu Tejangkara meninggal dunia, Jayengrana ditunjuk sebagai raja Majapura yang bertempat tinggal di Jenggala karena Prabu Tejangkara tidak memiliki putra laki-laki.
Jayengrana memiliki putra bernama Panji Inokartapati. Sang Prabu memiliki rencana untuk menjodohkan putranya dengan putri Prabu Lembumarjaya dari Kediri yang merupakan adik sang Prabu. Namun, Panji Inokartapati justru tertarik dengan Dewi Angreini dan ini membuat sang Prabu marah. 
Suatu hari Panji Inokartapati diutus oleh Prabu Jayengrana untuk pergi ke Pucangan memanggil Dewi Kilisuci. Sesampainya di Pucangan, ternyata Dewi Kilisuci sedang bertapa di suatu tempat, oleh karena itu Panji Inokartapati kembali lagi ke Jenggala. Namun sebelum Panji Inokartapati sampai di Jenggala, Prabu Jayengrana memerintahkan Raden Nilaprabangsa untuk menyusul Panji Inokartapati bersama dengan Dewi Angreini.Namun, di tengah perjalanan Dewi Angreini dibunuh oleh Nilaprabangsa dan jasadnya dihanyutkan di sungai.
Panji Inokartapati yang baru saja sampai di Jenggala mendapat kabar bahwa Dewi Angreini menyusulnya ke Pucangan.Kemudian beliau segera pergi lagi menuju ke Pucangan dengan menyusuri jejak yang dilewati oleh rombongan Dewi Angreini.Panji Inokartapati terkejut ketika melihat jasad Dewi Angreini.Bahkan beliau berhenti di tempat itu selama setengah bulan lamanya.Hal ini membuat Prabu Jayengrana sedih dan mengutus untuk mencari Inokartapati.Dua orang abdinya, Jarudeh dan Prasanta, terus membujuk Inokartapati untuk mau kembali lagi ke istana.Mereka juga menjelaskan tentang rencana perjodohan antara Inokartapati dengan Dewi Candrakirana yang hancur karena Inokartapati lebih memilih Dewi Angreini.Rencana perjodohan ini merupakan perkawinan politik yang telah direncanakan antara Jenggala dan Kediri karena keduanya merupakan saudara yang berasal dari Purwacarita.

Unsur dan Ciri Historiografi Tradisional dalam Babad Prambanan
Seperti layaknya dalam historiografi tradisional pada umumnya, dalam Babad Prambanan ciri Istana sentris sangat kental sekali terlihat. Cerita-cerita yang dimuat dalam babad ini keseluruhannya menceritakan tentang peristiwa yang terjadi di lingkungan istana. Dalam babad Prambanan bagian Megatruh sampai dengan pucung misalnya, menceritakan kisah yang terjadi di linkungan kerajaan Medhangkumulan yang saat itu dibawah pemerintahan Prabu Ajisaka kemudian digantikan oleh putra menantunya Sang Prabu Suwelacana. Tidak lama setelah itu Medhangkumulan diserang dan dijatuhkan oleh Prabu Srimapunggung dari gunung Ngulaulu, Prabu Suwelacana pun tewas ditangan Prabu Srimapunggu yang kemudian memerintah Medhangkumulan. Keluarga kerajaan yang selamat yaitu Raden Kandhuyu bersama pasukannya melarikan diri ke Cirebon dan dipersaudara oleh Raja Cirebon yang kemudian diangkat menjadi raja dengan gelar Prabu Srimahakurung. Setelah itu, Kadhuyu kemudian menyiapkan pasukan untuk menyerang Medhangkumulan yang kemudian berhasil merebut dan membunuh Prabu Srimapunggung. Maka, Medhangkumulan berhasil ditaklukan lagi yang kemudian diperintah oleh Srimahakurung yang bergelar Prabu Srimahapunggung. Medhangkumulan diganti namanya menjadi Purwacarita.
Dalam Babad Prambanan bagian Megatruh sampai dengan Pucung ini memang sekali-sekali menceritakan orang-orang diluar lingkungan istana. Namun tetap saja pada akhir kisahnya memiliki hubungan dengan keluarga istana. Seperti terdapat pada bagian Kinanthi yang menceritakan tentang keluarga Temon dengan putranya bernama Jaka Truka. Mereka memiliki seekor anjing bernama Jaka Burdan yang sering menemani Jaka Truka berburu. Ibu Jaka Truka bernama Rara Temon mengatakan bahwa anjing itu adalah anjing pemberian ewa yang mempunyai tuah dan sakti. Pada suatu hari Jaka Truka sedang berburu, tetapi tidak menemukan satupun hewan buruannya. Karena kesal, ia lalu pulang ke rumah namun di perjalanan ia bertemu dengan dua ekor kijang. Anjing Burdan yang diperintahkan untuk mengejar kijang itu ternyata tidak mau mengejarnya. Karena kesal, maka Jaka Truka memukul kepala anjing itu dengan batu hingga tewas. Rara Temon yang mendengan cerita itu dari anaknya menjadi sangat sedih dan bunuh diri dengan cara melompat ke dalam kobaran api. Jaka Truka sangat sedih melihatnya kemudian lari kedalam hutan dan bertemu dengan pasukan Raden Kandhuyu yang sedang menuju Cirebon. Kemudian Jaka Truka mengabdi pada Raden Kandhuyu dan diangkat menjadi patihnya sesampainya mereka di Cerebon.
Selain ciri istana sentris, dalam Babad Prambanan juga mengandung unsur mitologi. Dalam hal ini seperti misalnya Megatruh yang menceritakan bahwa naga Nginglung yang merupakan anak dari Prabu Ajisaka memerintahkannya untuk membunuh siluman buaya putih yaitu Dewatacenkar. Setelah berhasil membunuh Dewatacengkar, naga Nginglung kemudian dinikahkan dengan putri dari Nginangi raja lelembut laut Selatan yang berbadan manusia tapi bersisik bernama lara Blorong. Hal tersebut tentunya juga masuk kedalam ciri kurang faktual karena tentu saja kejadian tersebut tidak benar-benar nyata terjadi.
Ada juga cerita di dalam bagian Sinom yang menyatakan bahwa naga Ngingklung yang hendak menuju ke Medhangkumulan melalui dalam tanah sesekali muncul ke permukaan kemudian tempat munculnya berubah menjadi telaga bernama Pawiniyan, telaga Jimbung, dan sumber mata air sungai Serayu, serta tempat tengelamnya Nginglung berubah menjadi rawa lumpur Kasanga. Cerita tersebut memuat unsur Kosmogoni yang memuat tentang alam.
Cerita lain lagi dalam bagian Pucung memuat tentang asal mula terciptanya tulisan (huruf) jawa berjumlah dua puluh buah dengan alat kelengkapan huruf berupa sadhangam seperti suku, taling, dan sebagainya, serta perhitungan waktu (wuku) yang berjumlah tiga puluh buah oleh Prabu Ajisaka karena kesedihannya kehilangan dua orang abdinya yaitu Dora dan Sembada pada tahun 1026 (rasane netraneki angambara). Hal tersebut termasuk dalam ciri Kultus Dewa-Raja karena raja dianggap suci sebagai wakil dewa di bumi yang menjadikan perintahnya atau ucapannya menjadi peritah atau ucapan dewa yng menjadikan tulisan (huruf) jawa buatan Prabu ajisaka dipakai terus-menerus oleh rakyatnya.
Dalam bagian Sinom/Megatruh juga terdapat unsur subyektif. Seperti terlihat bahwa Prabu Srimahapunggung sebagai raja Medhangkumulan yang diubah menjadi Purwacarita. Diceritakan bahwa Prabu Srimahapunggung berhati besar mengampuni orang yang berbuat jahat dan berusaha memperbaiki tingkah laku warganya. Padahal dikatakan juga bahwa negeri itu dilanda banyak perampokan. Hal tersebut terlihat sekali bahwa terdapat subyektifitas yang hendak melegitimasi kekuasaan rajanya yang sedang berkuasa.
Ciri yang lain lagi yang terdapat di dalam Babad Prambanan yang terlihat pada bagian Megatruh sampai Pucung adalah kurang kronologis. Itu semua terlihat dari cerita-ceritanya yang semula menceritakan seatu kisah namun ditengah-tengah cerita tiba-tiba menceritakan kisah yang lain lagi. Seperti saat menceritakan kisah naga Ngingklung yang telah membunuh siluman buaya putih Dewatacengkar sesuai perintah Prabu Ajisaka kemudian di tengah cerita tiba-tiba beralih menceritakan tentang kecintaan Prabu Widayaka/ Prabu Ajisaka kepada dua orang abdinya Suwelacana dan Pandaya. Setelah itu disambung lagi dengan cerita dua orang abdi lainnya yaitu Dora dan Sembada. Barulah cerita naga Ngingkung dilanjut lagi setelah cerita-cerita yang lainnya selesai. Tentu jika tidak teliti maka alur seperti itu akan membingungkan pembacanya.
Di dalam Babad Prambanan terdapat juga unsur eskatologi yang memuat tentang hari akhir atau kematian. Unsur tersebut termuat dalam ceritanya yang menyatakan bahwa Raja Darmanata merasa sedih atas kematian putra mahkota nya, sehingga sang Raja memutuskan untuk bunuh diri di dalam kamar. Tak lama setelah itu, sang permaisuri pun ikut menyusul Raja nya dengan membunuh diri nya sendiri.
Unsur selanjutnya yang ada dalam Babad Prambanan yakni unsur Teogoni. Hal ini dapat kita temukan dalam salah satu cerita pada Babad Prambanan yang menceritakan bahwa Prabu Karungkala melakukan pertapaan guna mendapatkan legitimasi dari rakyat dan juga saudara-saudaranya sehingga dia dapat dipercayai untuk menjadi seorang raja di Prambanan.

Fakta Sejarah dalam Babad Prambanan
Di dalam historiografi tradisional terdapat fakta yang tersirat, meskipun dibutuhkan pemahaman dan ketelitian untuk menemukannya. Walaupun demikian, kebanyakan isi dari historiografi tradisional memuat cerita-cerita yang kurang faktual dan hanya membenarkan raja guna legitimasi kekuasaannya. Hal tersebut yang membuat sejarawan harus bekerja dengan teliti untuk menjadikan historiografi tradisional sebagai salah satu sumber sejarah dalam penulisannya.
Babad Prambanan sebagai salah satu historiografi tradisional yang tidak disebutkan siapa pujangga penulisnya juga  dapat ditemukan fakta histori di dalamnya, meskipun hal tersebut membutuhkan ketelitian yang ekstra. Fakta yang tersirat tersebut antara lain ditemukan bahwa pada tahun 1009 yang dalam candra sengkala disebut cipta sonya ngambareku menyatakan tahun dibangunnya Candi Prambanan sebagai bukti cinta dari Raden Bandung Bandawasa kepada Rara Jonggrang. Fakta lainya lagi ditemukan bahwa pada tahun 1026 yang ditulis dalam candra sengkala rasane netraneki agambara merupakan tahun terciptanya tulisan (huruf) Jawa yang berjumlah dua puluh buah, yaitu ha – na – ca – ra – ka – da – ta – sa – wa – la – pa – dha – ja – ya – nya – ma – ga – ba – tha – nga. Di samping itu dirakit pula alat kelengkapan huruf itu berupa sandhangan seperti wulu, suku, taling, dan sebagainya. Selain huruf jawa beserta kelengkapannya juga dirakit perhitungan waktu (wuku) yang berjumlah tiga puluh buah.
Selain itu juga terdapat fakta sejarah yang ditemukan dalam angka tahun 1028 yang dikatakan dalam candra sengkala Jumegur paksa angrusak jagad merupakan tahun dimana Prabu Ajisaka memerintahkan Raden Braruntung untuk menaklukan Sumbawa dan juga pada tahun yang sama dibangunnya Candi Ketangga. Selain itu juga pada tahun 1025 yang dinyatakan dalam candra sengkala tata bujananira muluk menyatakan tahun dinikahkannya Suwelacala dengan putri Prabu Widyaka yang bernama Dewi Darmastuti dan diangkatnya Pandaya sebagai raja Pengging dengan gelar Sang Pandayanata. Pada tahun 1119 (dewa iku tunggal jalma) merupakan tahun dimana Jayengrana diangkat menjadi raja di jenggala dengan gelar Prabu Lembumiluhur.

Tak Dipinjami Uang, Mahasiswa Dibunuh


Lesmana Satria (22), mahasiswa jurnalistik Universitas Sahid semester tujuh tewas terbunuh oleh teman kakaknya lantaran menolak memberi pinjaman uang pada Rabu(17/9)pukul 13.00 WIB. Diketahui bahwa pelaku adalah Teguh M Iksan (24), tak hanya membunuh korban, pelaku juga menganiaya tetangga korban, Fitri (35). Fitri dianiaya karena berusaha menyelamatkan korban. Berkat teriakan Fitri pula, pelaku berhasil dibekuk warga.
Peristiwa tersebut terjadi di lantai dua rumah korban di RT 009 Rw 009 Pondok kelapa, Kecamatan Duren Sawit, Jakarta Timur. Saat itu korban hanya seorang diri, sementara keluarga lainnya sedang bekerja. Hal itu mempermudah pelaku untuk menghabisi nyawa korban. Menurut fitri, sehari sebelum terjadi pembunuhan pelaku sempat berputar-putar disekitar rumah korban dengan alasan mencari alamat. akhirnya pelaku bertemu dengan kakak korban, Rama (24). Pelaku kemudian menginap satu malam di rumah korban yang berada tepat di depan rumah Fitri.
Dari penyelidikan Polsek Duren Sawit seelah menginap satu malam, Rabu pagi, pelaku sudah diantar pulang oleh Rama ke Bekasi. Menurut penyidik, Orangtua korban resah saat pelaku menginap di rumah. Sebab pelaku beberapa kali menyalakan tipi tanpa izin. Setelah diantar pulang, pelaku kembali lagi kerumah korban sekitar jam 11.30 siang. Pelaku kembali mondar-mandir didepan rumah korban. Fitri mulai curiga terhadap gerak-gerik pelaku.
Informasi yang didapat oleh penyidik, pelaku langsung naik ke lantai dua tempat kamar korban dan kakaknya rama. Pelaku mengaku awalnya dia meminta pinjaman uang Rp. 600.000, tetapi korban menolak memberinya. Sebaliknya, korban malah menghina pelaku. Alibinya, hinaan itu membuatnya sakit hati. Pelaku kemudian turun ke lantai bawah kemudian ke dapur dan mengambil pisau yang digunakan untuk membunuh korban.
Fitri yang mendengar suara teriakan yang diikuti suara menggorok dari kamar korban langsung masuk rumah memeriksa kondisi korban.
“Saat saya membuka pintu kamar Lesmana, Darah sudah berceceran dimana-mana. Pelaku langsung menyabetkan pisau ke leher, tapi saya bisa menghindar dan terjatuh,” kata Fitri.
Setelah Fitri terjatuh, pelaku langsung meninggalkan kamar dengan sangat tenang.  Kemudian Fitri berusaha mengejar pelaku dan berteriak rampok sekencangnya. Warga yang mendengar terikannya langsung menangkap dan menghakimi pelaku di tempat.
Menurut Kepala Unit Reserse Kriminal Polsek Duren Sawit Ajung Komisaris Chalid Thayib, korban mengalami luka tusuk di leher, luka sobek di perut, dan luka tikam di paha. Sementara Fitri mengalami luka Lecet di leher akibat sabetan pisau pelaku. Beliau juga mengungkapkan, pada awalnya pelaku mengincar laptop milik korban. Namun, karena korban tidak juga meninggalkan kamarnya, pelaku beralasan ingin meminjam uang. “mungkin karena kesal tidak mendapatkan barang yang diincarnya, pelaku menganiaya korban hingga tewas,” ujar Chalid.
Korban yang juga merupakan Ketua Seputar kamera Fikom di kampusnya, harus meregang nyawa ditangan teman kakaknya. Padahal korban sedang magang kerja di salah satu stasiun televisi sebagai salah satu syarat kelulusan, seperti yang diutarakan Adul (22), teman korban, “sebentar lagi, dia bakal lulus. Kami tak menyangka peristiwa ini menimpa Lesmana”. Keluarga korban juga merasa terguncang atas peristiwa tersebut. Rama, kakak korban merasa sangat menyesal telah membiarkan pelaku menginap di rumahnya. ..Berta

PSDM HMJ Sejarah Undip 2014-2015


Jumat, 16 November 2012

24 HOURS eps. 3


By: Berta Silvia

Tak kusadari sang matahari telah menyapaku dipagi hari seakan membangunkan lamunan panjangku. Ibu membuka pintu kamarku dan terkejut melihat diriku terduduk disamping tempat tidur, kemudian dia menghampiriku, memegang dahiku untuk memastikan apakah aku sehat. Lalu dia bertanya masih dengan bahasa isyarat itu apakah aku baik-baik saja? Aku hanya mengangguk. Ibu lalu meninggalkanku untuk menyiapakan sarapan pagi kami. Aku meraih buku tua itu dan membuka lembar kosong itu lagi, tertulis “temporis supererat XI horas” aku berguman “ waktuku 11 jam lagi” sambil beranjak ke kamar mandi untuk bersiap-siap berangkat sekolah.
Aku menjalani pagi ini seperti biasa, sarapan dengan orang tuaku lalu berpamitan. Aku berjalan menyisiri komplek rumahku, disana ku temui beberapa tetangga yang menyapa dengan senyuman dan beberapa anak SD yang berlarian berangkat sekolah. Aku mendengar beberapa perkataan orang-orang yang sedang membicarakanku. Tapi seakan sudah kebal dengan itu, aku tidak memperdulikannya lagi. Aku hanya berharap semua ini segera berakhir.
Sesampainya di sekolah juga seperti biasa, teman-teman tersenyum padaku namun aku tak mampu membalas senyum palsu mereka. Saat memasuki kelas, Ciro menyapaku dengan senyuman khasnya yang selalu melelehkan hatiku. Kami pun bersama-sama menuju kelas. Ciro duduk agak jauh dariku tapi aku masih dapat dengan jelas memperhatikannya. Kami menuju tempat duduk masing-masing ketika tiba di kelas. Aku dapat dengan jelas melihat beberapa anak laki-laki menghampiri Ciro, mereka bercakap-cakap dengan riangnya sampai perkataan itu terlontar dari salah seorang teman yang sedang berkumpul dengan ciro “Kamu menyukai Anne ya? Perhatian sekali dengannya. Ayo ngaku.” Tiba-tiba detang jantungku berdegup dengan kencang menantikan jawaban dari ciro. Tapi jawaban dari ciro tidak ubahnya dari teman-teman yang lain malah semakin pahit karena terlontar dari mulutnya yang ku anggap sebagai matahariku. “ah itu tidak benar, aku memperhatikannya karena kita harus baik pada orang lain. Apalagi dengan dia yang seperti itu, aku juga sedikit kasihan padanya. Kalian jangan mengoloknya, hidupnya sudah terhina tuh. Haha.” Jawab ciro.
Sepanjang pelajaran berlangsung aku tak dapat mendengarkan dan memikirkan apapun. Semua berputar-putar di kepalaku. Hingga akhirnya pukul 10.00 a.m itu berarti waktu istirahat pertama tiba. Aku memutuskan untuk pergi sambil membawa buku tua itu ke atap sekolah, tempat yang paling jarang aku kunjungi. Tempat itu kupilih karena kufikir itu adalah tempat yang cocok bagiku menumpahkan kesalku. Setibanya disana aku memilih tempat yang paling jarang di kunjungi siswa lain kemudian menjatuhkan diri di sudut dinding pagar pembatas di atap dan berteriak sekencang-kencangnya, menangis, serta memaki-maki diri sendiri. Tanpa aku sadari ternyata telah berdiri sesosok laki-laki yang aku kenal tidak jauh dari tempatku duduk, dia adalah Juro. Dia memandangku dengan tatapan datar. Lalu aku bertanya kenapa? Dia pun menjawab, “itu adalah tempat biasa aku tidur”, kemudian dia duduk disebelahku yang masih tercengang dan melanjutkan perkataannya “aku tidak tahu ternyata kamu sudah dapat mendengar dan berbicara”, Aku masih tercengang lalu tersadar ketika tangannya menyentuh dahiku seraya berkata “kamu baik-baik saja?”

<bersambung>

Rabu, 14 November 2012

Girls' Generation - Time Machine

Girls' Generation - Time Machine

24 HOURS eps.2

By: Berta Silvia

Sinar matahari sore yang masuk dalam ruangan ini menyilaukan mataku, perlahan aku membuka mata. Kepalaku masih terasa agak pusing, namun kupaksakan untuk bangun dari tidur anehku ini. Kutengok jam tanganku menujukkan pukul 5 sore. Mataku berlari keseluruh penjuru ruangan tapi tidak kutemui seorang pun, kemudian pandanganku tertuju ke arah meja baca tempatku tertidur. Disana tergeletak buku tua yang masih terbuka bekas kubaca tadi. Saat ku lihat baik-baik, lembar yang aku tulis tadi kini telah kosong kembali. Ku coba untuk memejam-mejamkan mata untuk memastikan apa yang aku lihat. Sangat jelas di ingatanku bahwa aku tadi menulis sebuah kalimat di buku itu. Ku coba memperhatikan kembali lembar itu dan perlahan-lahan muncul sebuah tulisan “XXIV horis fuisse concessam (24 jam telah diberikan)”. Sejenak aku tertegun, apa kah ini benar?  Karena penasaran, aku memutuskan untuk membawa pulang buku itu.

Aku melangkah meninggalkan perpustakan, perlahan telingaku menangkap suara langkah kaki. Aku terdiam, air mataku menetes perlahan. “Aku dapat mendengar suara langkahku!” aku kembali terdiam sambil memengan mulutku. “Aku dapat berbicara!” air mataku makin deras mengalis dan kakiku terasa lemas, aku terduduk di koridor penghubung antara perpustakaan dan kelasku.

Setelah menghapus air mataku, kini aku melangkah mendekati kelasku. Sepertinya masih ada beberapa siswi disana karena aku dapat mendengar tawa mereka dari kejauhan. Aku tak sabar untuk memberi tahu mereka tentang keadaanku sekarang. Semakin mendekati pintu kelas, langkahku terhenti oleh ucapan salah seorang teman kelasku, “apa pun yang kita katakan tentang Anne, dia tidak akan pernah tahu asalkan kita tersenyum padanya. Itupun kita lakukan agar dapat contekan saat ujian darinya. Salah sendiri kenapa dia tuli dan bisu. Hahaha.” Semua yang ada di kelas tertawa seolah mendengarkan lelucon yang lucu sekali.

Aku mengurungkan niat untuk memberi tahu mereka. Langkahku begitu berat memasuki kelas untuk mengambil tas. Seperti biasa teman-teman tersenyum padaku, namun aku tak mampu membalas senyuman mereka. Aku hanya terus berjalan meninggalkan kelas dengan kenyataan yang merobek hatiku.

Masih dengan langkah gontai, aku memasuki rumahku. Ku usahakan untuk tersenyum agar dapat mengatakan keadaanku sekarang pada ayah dan ibu di ruang keluarga. Lagi-lagi langkahku terhenti saat mendengar ucapan orang tuaku, “seandainya saja anak kita normal. Pasti tidak akan merepotkan dan menjadi buah bibir tetangga”. Ucapan itu seolah menusuk langsung ke jantungku. Nafasku seolah terhenti. Kemudian ibu menoleh padaku dan tersenyum seraya mengatakan selamat datang dengan bahasa isyarat. Ayah juga tersenyum. Ajaib, tak setetes air matapun jatuh dari mataku. Entah karena otakku belum dapat memperoses apa yang kudengar tadi atau air mataku telah habis, aku tidak tahu. Ku urungkan kembali niatku tadi dan meninggalkan ruangan tempat ayah dan ibu.

Kini aku telah berada di ruangan yang paling nyaman bagiku. Aku meletakkan tasku di atas meja belajar kemudian menjatuhkan diriku ke tempat tidur. Hari ini aku sangat lelah, tubuhku membutuhkan sedikit istirahat. Otakku pun seperti tak dapat meng-input data lagi. Tanpa ku sadari, kantuk mulai menjalar ditubuhku dan aku mulai tertidur.

Jam dinding di kamarku menunjukkan pukul 01.15 a.m saat aku terjaga dari tidurku. Ku dapati tubuhku kini mengenakan baju tidur tidak lagi mengenakan seragam sekolah. Pasti ibu yang telah masuk diam-diam ke kamarku dan mengganti bajuku. Air mataku akhirnya kembali menetes. Maafkan aku, ibu pasti lelah mengurus aku yang seperti ini. Ayah pasti capek memenuhi kebutuhanku yang seperti ini. Maafkan aku.

Kuraih buku yang kupinjam tadi dari dalam tasku. Ku buka halaman demi halaman hingga halaman kosong itu dan kini tertulis ”temporis supererat XV horas XL minutes”, itu berarti waktuku tinggal 15 jam 20 menit lagi dari sekarang. Entah kenyataan apa lagi yang akan aku terima, sekarang aku tak dapat memikirkan apa-apa lagi. Tak kusangka dengan buku ini benar-benar dapat membuatku mendengar dan berbicara. Tapi bukan ini kenyataan yang aku inginkan. Kini perhatianku teralih ke album foto yang tersimpan rapi di laci meja belajar. Kuraih dan ku amati satu persatu foto yang tertempel disana. Semua tersenyum di foto itu tapi tak penah terfikir olehku bahwa senyum itu adalah senyum palsu. Kemudian aku terdiam dan pandanganku menerawang entah kemana seakan kantuk tak berani menghinggapi mataku.

<bersambung>

Selasa, 13 November 2012

24 HOURS eps.1

By: Berta Silvia

24 jam itu sama dengan satu hari. Apa yang bisa dilakukan dengan waktu hanya 24 jam. Sebagian hanya bisa melakukan sedikit hal dalam satu hari. Tapi menurutku, 24 jam adalah waktu yang cukup untukku merasakan kehidupan seperti mereka. 24 jam waktu yang cukup untukku bisa mendengar suara mereka. Dan 24 jam sudah cukup bagiku untuk berterima kasih.

Namaku adalah Anne, yang berarti sempurna. Tidak seperti namaku, aku tidak sama layaknya mereka. Duniaku sepi, tak ada yang dapat terdengar olehku. Aku hanya bisa melihat senyum mereka sambil berharap aku mampu mendengar suara dan mengucapkan dua patah kata yaitu “terima kasih”. Kini aku duduk di kelas 2 SMA.

17 tahun Kehidupanku tidak seluruhnya buruk. Aku bersyukur dikelilingi orang-orang yang masih mau tersenyum padaku, walau aku tak dapat mendengar apa yang mereka katakan terhadapku. Aku juga bersyukur masih dapat merasakan jatuh cinta pada Ciro teman sekelasku. Dia selalu baik padaku, membuatku berdebar dengan senyumannya, dan dia ibarat matahari bagi hidupku sama seperti namanya yang berarti matahari. Hanya saja aku masih merasakan tatapan yang begitu dingin dari Juro, yang begitu santai menjalani kehidupannya. Sejujurnya aku iri padanya.

Hari ini pun sama seperti sebelumnya. Aku masih di sekolah, di ruangan yang berisi rak-rak buku yang berjejeran dengan rapi. Tidak banyak siswa yang mau mengunjungi tempat ini diwaktu senggang seperti ini, mereka lebih memilih di kantin atau kumpul dengan teman-teman sambil bercengkrama. Tapi bagiku, tempat ini adalah tempat sempurna untukku. Disela keasikanku memilih-milih buku, ada sebuah buku kusam yang terletak di pojok bawah rak di ujung ruangan dan terlihat sekali buku itu sudah lama tidak tersentuh. Saat ku ambil, buku itu sudah penuh dengan debu. Perlahan ku sibak debu itu dengan sapu tangan yang ku bawa. Sampul buku itu tidak tertulis judul, hanya terdapat sebuah gambar jam. Ku buka lembar kedua, disana terdapat tulisan latin “XXIV Horas” yang berarti 24 jam. Lembar selanjutnya ku dapati tulisan-tulisan latin. Sejenak aku berfikir sejak kapan perpustakaan sekolah ini punya koleksi buku seperti ini. Karena makin penasaran, aku memutuskan untuk mencoba membacanya. Isi buku itu adalah “hal yang tak dapat kamu lakukan akan dapat dilakukan dengan cara mengorbankan sisa hidupmu untuk 24 jam yang kamu inginkan. Kamu hanya perlu menulis permohonanmu di lembar kosong dalam buku ini”.

Setelah membacanya, kini aku berada dilembar terakhir.  Diatas lembar ini tertulis “petitio tua” yang berarti permintaan anda. Aku terdiam sejenak sambil tersenyum, dalam hati aku berkata “mungkinkah ada hal seperti ini di kehidupan modern? Tak ada salahnya aku mencobanya”. Tanganku tergerak untuk menggoreskan tinta di lembar kosong itu, kemudian tertulis “Vellem similis diligere, audite quod si mundum amittere possit dicere vita reliqua (Aku ingin sekali saja seperti mereka, mendengarkan dunia ini dan mampu berkata meski harus kehilangan sisa hidupku.)”. setelah itu aku merasakan kantuk yang sangat, tanpa kusadari aku tertidur di meja baca.

<bersambung>