By: Berta Silvia |
Sinar
matahari sore yang masuk dalam ruangan ini menyilaukan mataku, perlahan aku
membuka mata. Kepalaku masih terasa agak pusing, namun kupaksakan untuk bangun
dari tidur anehku ini. Kutengok jam tanganku menujukkan pukul 5 sore. Mataku
berlari keseluruh penjuru ruangan tapi tidak kutemui seorang pun, kemudian
pandanganku tertuju ke arah meja baca tempatku tertidur. Disana tergeletak buku
tua yang masih terbuka bekas kubaca tadi. Saat ku lihat baik-baik, lembar yang
aku tulis tadi kini telah kosong kembali. Ku coba untuk memejam-mejamkan mata
untuk memastikan apa yang aku lihat. Sangat jelas di ingatanku bahwa aku tadi
menulis sebuah kalimat di buku itu. Ku coba memperhatikan kembali lembar itu
dan perlahan-lahan muncul sebuah tulisan “XXIV horis fuisse concessam
(24 jam telah diberikan)”. Sejenak aku tertegun, apa kah ini benar? Karena penasaran, aku memutuskan untuk membawa
pulang buku itu.
Aku melangkah
meninggalkan perpustakan, perlahan telingaku menangkap suara langkah kaki. Aku
terdiam, air mataku menetes perlahan. “Aku dapat mendengar suara langkahku!”
aku kembali terdiam sambil memengan mulutku. “Aku dapat berbicara!” air mataku
makin deras mengalis dan kakiku terasa lemas, aku terduduk di koridor
penghubung antara perpustakaan dan kelasku.
Setelah menghapus air
mataku, kini aku melangkah mendekati kelasku. Sepertinya masih ada beberapa
siswi disana karena aku dapat mendengar tawa mereka dari kejauhan. Aku tak
sabar untuk memberi tahu mereka tentang keadaanku sekarang. Semakin mendekati
pintu kelas, langkahku terhenti oleh ucapan salah seorang teman kelasku, “apa
pun yang kita katakan tentang Anne, dia tidak akan pernah tahu asalkan kita
tersenyum padanya. Itupun kita lakukan agar dapat contekan saat ujian darinya.
Salah sendiri kenapa dia tuli dan bisu. Hahaha.” Semua yang ada di kelas
tertawa seolah mendengarkan lelucon yang lucu sekali.
Aku mengurungkan niat
untuk memberi tahu mereka. Langkahku begitu berat memasuki kelas untuk
mengambil tas. Seperti biasa teman-teman tersenyum padaku, namun aku tak mampu
membalas senyuman mereka. Aku hanya terus berjalan meninggalkan kelas dengan
kenyataan yang merobek hatiku.
Masih dengan langkah
gontai, aku memasuki rumahku. Ku usahakan untuk tersenyum agar dapat mengatakan
keadaanku sekarang pada ayah dan ibu di ruang keluarga. Lagi-lagi langkahku
terhenti saat mendengar ucapan orang tuaku, “seandainya saja anak kita normal.
Pasti tidak akan merepotkan dan menjadi buah bibir tetangga”. Ucapan itu seolah
menusuk langsung ke jantungku. Nafasku seolah terhenti. Kemudian ibu menoleh
padaku dan tersenyum seraya mengatakan selamat datang dengan bahasa isyarat.
Ayah juga tersenyum. Ajaib, tak setetes air matapun jatuh dari mataku. Entah
karena otakku belum dapat memperoses apa yang kudengar tadi atau air mataku telah
habis, aku tidak tahu. Ku urungkan kembali niatku tadi dan meninggalkan ruangan
tempat ayah dan ibu.
Kini aku telah berada
di ruangan yang paling nyaman bagiku. Aku meletakkan tasku di atas meja belajar
kemudian menjatuhkan diriku ke tempat tidur. Hari ini aku sangat lelah, tubuhku
membutuhkan sedikit istirahat. Otakku pun seperti tak dapat meng-input data
lagi. Tanpa ku sadari, kantuk mulai menjalar ditubuhku dan aku mulai tertidur.
Jam dinding di kamarku
menunjukkan pukul 01.15 a.m saat aku terjaga dari tidurku. Ku dapati tubuhku
kini mengenakan baju tidur tidak lagi mengenakan seragam sekolah. Pasti ibu
yang telah masuk diam-diam ke kamarku dan mengganti bajuku. Air mataku akhirnya
kembali menetes. Maafkan aku, ibu pasti lelah mengurus aku yang seperti ini.
Ayah pasti capek memenuhi kebutuhanku yang seperti ini. Maafkan aku.
Kuraih buku yang
kupinjam tadi dari dalam tasku. Ku buka halaman demi halaman hingga halaman
kosong itu dan kini tertulis ”temporis supererat XV horas XL minutes”,
itu berarti waktuku tinggal 15 jam 20 menit lagi dari sekarang. Entah kenyataan
apa lagi yang akan aku terima, sekarang aku tak dapat memikirkan apa-apa lagi.
Tak kusangka dengan buku ini benar-benar dapat membuatku mendengar dan
berbicara. Tapi bukan ini kenyataan yang aku inginkan. Kini perhatianku teralih
ke album foto yang tersimpan rapi di laci meja belajar. Kuraih dan ku amati
satu persatu foto yang tertempel disana. Semua tersenyum di foto itu tapi tak
penah terfikir olehku bahwa senyum itu adalah senyum palsu. Kemudian aku
terdiam dan pandanganku menerawang entah kemana seakan kantuk tak berani
menghinggapi mataku.
<bersambung>
Tidak ada komentar:
Posting Komentar